Abdillah Ahsan (Foto: Irwan N/detikcom

Jakarta - Kontribusi industri rokok terhadap perekonomian nasional sering dipakai sebagai argumen untuk tidak melarang penjualan dan peredaran rokok di Indonesia. Akan tetapi, sesungguhnya sumbangan industri rokok terhadap perekonomian Indonesia itu tidak sebesar yang didengungkan.

"Kita bagi kontribusi itu terhadap PDB, secara tenaga kerja, dan secara cukai," kata peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, usai mengikuti pertemuan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dengan Wapres Boediono di Kantor Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (12/11/2010).

Dimulai dari cukai terlebih dahulu, Abdillah mengatakan, cukai rokok sebetulnya bukan perusahaan rokok yang membayar, melainkan pembeli atau perokok. Artinya. pembayaran cukai itu dibebankan kepada konsumen, sehingga para perokoklah yang memberi sumbangan terhadap penerimaan negara.

Penerimaan negara dari cukai ini, ia menghitung sekitar Rp 56 triliun. Namun, jumlah tersebut hanya 5-7 persen dari seluruh penerimaan negara yang tahun ini berjumlah lebih dari Rp 1.000 triliun.

Kedua, sumbangan dalam bentuk pendapatan domestik bruto (PDB). Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1995-2005, diketahui sumbangan dari industri rokok menurun. Ia mengaku tidak ingat secara pasti angka penurunan tersebut, namun sekitar 2 hingga 1 persen.

"Sehingga itu tidak sebesar yang diklaim oleh industri rokok," katanya.

Industri rokok, lanjutnya, selama ini hanya terpusat di Jawa Tengah, Jawa Timur, sedikit di Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Artinya, dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 28 daerah yang menjadi tempat memproduksi rokok.

Lalu mengenai lahan pertanian tembakau, menurut Abdillah, 90 persennya berpusat di Jatim dan Jateng juga. Itu pun tidak semua kabupaten di Jatim menanam tembakau dan memproduksi rokok. Hanya di sentral-sentral tertentu saja.

Bagaimana sumbangan industri rokok dalam hal penyerapan tenaga kerja? Abdillah menghitung, untuk tenaga kerja langsung, jumlah pekerja di industri rokok hanya sekitar 300 ribuan saja se-Indonesia. Sedangkan petani tembakau berjumlah 500 ribuan berdasarkan data BPS.

"Kenapa angka yang disodorkan dari industri rokok jauh lebih banyak? Karena mereka juga menghitung tenaga kerja tidak langsung kemudian dikalikan dengan jumlah anggota rumah tangga yg ditanggung. Jadi kalau satu petani tembakau menanggung 4 orang, maka yang dihitung 4 petani tembakau. Jadi dinaikkan seperti itu," tutupnya.

Sumber : detik.com

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati