Di copy-paste dari : http://ghaziahazmiizzati.multiply.com/journal/item/157/cerpen_ketika_mas2_pergi


Aku hanya menulis apa yang ingin aku tulis, tentang sebuah perasaan yang terpendam sejak dulu. Tentang cinta tapi bukan cinta yang sering diceritakan dalam novel-novel atau sinetron picisan, ini tentang cintaku pada seseorang yang telah membuat aku jadi seperti ini. Ya kepada ia yang telah mengenalkanku tentang sebuah dunia yang sangat indah, menjebloskanku pada sebuah jalan yang berliku, penuh onak dan duri namun ada pemandangan indah di ujungnya, syurga. Inilah jalan dakwah itu. Jalan yang kulalui bersama-sama dengan mereka yang merindukan pertemuan dengan Sang Penciptan di Jannahnya.

Entah sikap apa yang harus aku ambil untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan pikiran yang ku rasakan saat ini, sebuah perasaan, emosi dan pikiran yang sudah kupendam lama sekali. Tentu tentang seseorang yang kucintai itu. Dia seorang ikhwan,-mengertikan maksudku ? saat ku menyebut ia ikhwan, maka bayangkanlah seorang pria berjenggot, selalu memakai celana kain atau celana gunung, mengenakan sandal gunung, memakai kaca mata, memakai jaket palestine, dan ia sering menghabiskan waktunya untuk rapat di masjid atau dimanapun, dan orang-orang menyebutnya sebagai aktivis dakwah kampus-. Tanpa bermaksud mendikotomikan makna dibalik ikhwan dan pria. Dan sekali lagi ini bukanlah kisah picisan seperti yang ada di novel-novel itu, karena ikhwan ini adalah kakakku. Ya, ia lah yang secara tidak langsung menggiringku mengenal jalan ini, jalan yang hari ini berusaha ku lalui. Jalan dakwah.

Tepatnya 9 tahun lalu ia mengenalkan aku pada Islam. Tapi tunggu, mari kita samakan persepsi, aku dilahirkan dalam keluarga Islam, lahir pun dalam keadaan Islam, dan mungkin –karena aku memang tidak pernah merasakannya- saat aku meneriakkan tangis pertamaku di dunia yang fana ini ayahku membacakan adzan tepat di telingaku. Masa kecilku pun aku lalui dengan belajar mengaji, belajar shalat, namun tetap tanpa aku memahami esensi mengapa aku harus melakukan itu semua. Bayangkan, untuk seukuran aku yang masih kelas 1 sekolah dasar, jam 4 sore seharusnya ku lalui dengan bermain, menghabiskan masa-masa kecilku bersama dengan teman-teman sepermainan. Namun, setiap jam 4 sore itu aku harus rela bermain dengan guru ngaji-ku yang luar biasa galak, maka tak jarang aku pun belajar mengaji sambil menitikkan air mata. Dan sekali lagi, aku melakukan itu semua tanpa aku paham esensinya apa. Hingga kegiatan rutin yang amat membosankan itu aku lakukan sampai aku kelas 5 SD. Saat itu, kakakku yang aku cintai ini, sudah berganti status, tidak lagi menjadi siswa tapi sudah menjadi mahasiswa, ah bangganya diriku memiliki kakak yang berstatus mahasiswa. Dan hebatnya lagi, ia menjadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri yang bergengsi di Indonesia. Para mahasiswa di sana selalu mengenakan jas almamater berwarna kuning dalam setiap kesempatan demonstrasinya, ya mungkin kalian bisa menebak kampus apa itu. Orang menyebutnya kampus biru, walau sampai hari ini aku tak habis pikir, mengapa mendapat julukan kampus biru, sedangkan jas almamaternya saja kuning begitu. Aku bangga, namun orang tuaku lebih bangga lagi, terlihat senyum kebanggaan menghiasi wajah mereka, bahkan mereka sampai melakukan acara syukuran atas lolosnya kakakku menjadi mahasiswa PTN bergengsi ini. Ah, berlebihan memang.

Aku tidak paham apa saja yang kakakku lakukan di kampus barunya. Yang pasti ia berubah begitu drastis, dari mulai sikap sampai penampilannya. Ia lebih sholeh akhir-akhir ini. Dan saat ia pulang, terkadang dalam setiap pembicaraannya sering terselip kata-kata ”ikhwan, akhwat, ana, antum, ummahat, dan lain-lain”, kata-kata yang cukup asing di telingaku.

”Dik, itu loh yang namanya akhwat” kata kakakku suatu hari. Dan akhirnya aku memahami bahwa seseorang yang disebut akhwat itu adalah mereka yang berbaju kebesaran, berkerudung sangat lebar, memakai kaos kaki, dan wajahnya tampak teduh. Ah, senangnya memandang wajah teduh wanita yang kakaku sebut akhwat itu. Dan untuk pertama kalinya, aku paham mengapa mereka harus memakai kain di atas kepalanya itu, dan kaos kaki dikakinya. Aku pun bertekad dalam hati untuk bisa seperti mereka suatu saat nanti.

Perilaku kakakku semakin lama semakin aneh saja, kemana-mana ia selalu membawa mushaf dan majalah-majalah aneh yang didepannya terdapat tulisan Sabili. Puncaknya adalah, saat ia mendengarkan sebuah lagu, yang sama sekali tidak ada unsur alat-alat musik di dalamnya, liriknya pun aneh, karena selalu berbicara tentang Palestina dan dakwah. Dan kemudian aku tahu itu namanya nasyid. Dan tim nasyid pertama yang ia kenalkan padaku adalah Izzatul Islam, Al-Quds, dan Raihan. Kakakku memang berubah, padahal dulu ia sangat menggandrungi Linkin Park, Scorpion dan group band rock aneh lainnya. Aneh memang, saat teman-temanku yang lain asyik mendengarkan lagu-lagu band dengan lirik-lirik picisan, aku seorang anak kelas 5 SD sudah mulai mendengarkan nasyid sekaliber Izzatul Islam dan Al-Quds. Bacaanku yang awalnya majalah Bobo, beralih menjadi Annida.

Saat aku kelas 6 SD, kakakku sering meneleponku, ia selalu bertanya seputar sudah tilawah belum, sudah berapa juz tilawahnya, bagaimana dengan hapalan juz 30nya, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ah, kakakku memang aneh, ngaji saja aku baru tamat iqro 6.

Waktu pun terus berlalu, saat aku resmi menjadi siswa SMP kelas 1, aku yang notabenenya baru saja memasuki gerbang remaja awalku, mengambil sebuah keputusan yang cukup ekstrim. Aku ingin berjilbab, aku ingin seperti akhwat-akhwat itu. Ya walau terkadang aku masih belum istiqomah untuk mengenakannya. Memang aneh kelakuanku saat itu, di sekolah aku memakai jilbab, namun saat ada kegiatan-kegiatan di luar kegiatan sekolah aku melepaskan jilbabku, tapi saat ada kegiatan yang ada kakakku di dalamnya aku pun menjelma menjadi seorang akhwat. Memakai jilbab lebar walau menerawang, memakai kaos kaki, walau masih memakai celana.

Aku pun semakin mencintai kehidupanku yang seperti itu. Aku sudah mengetahui hukum pacaran semenjak aku duduk dibangku SMP. Dan secara otomatis, aku pun belum pernah merasakan pacaran sampai saat ini, ya walau terkadang aku pun sempat tergoda untuk memiliki pacar. Saat teman-teman ABG ku membaca majalah-majalah HAI, Kawanku, sampai majalah Misteri. Aku malah menyibukkan diri membaca majalah Annida, dan novel-novel Islami. Saat teman-teman ku mengisi biodata di binder temannya (sedang musim saat itu bertukar biodata dengan teman-teman sekelas), mereka menuliskan Sheila On7, F4, dan segudang penyanyi lain di point musik favorit, aku menuliskan Izzatul Islam, Raihan, Snada di point tersebut. Perubahan yang memang tidak wajar sebenarnya.

Hingga suatu saat, kakakku membelikan aku 2 lembar jilbab berukuran 150 cm. Ah senangnya, tapi ada yang ia lupakan, ia tidak juga membelikan aku rok, karena aku tidak memilikinya selain rok biru SMPku, bukankah akhwat itu harus memakai rok?

Aku, seorang siswi SMP, memohon-mohon pada guru agamaku untuk mendirikan ROHIS di sekolahku. Saat teman-teman ku yang lain tidak tahu apa itu ROHIS. Kehidupan yang aneh, namun sungguh aku menikmatinya.

Saat aku kelas 3 SMP, kakakku akhirnya resmi menanggalkan status mahasiswanya. Ia lulus dan menyandang gelar Sarjana Tekhnik. Ia pun meninggalkan dunia kampusnya yang serba idealis itu menuju sebuah dunia yang kejam. Sebuah dunia yang sangat sulit untuk menemukan sebuah idealisme, dunia yang terlalu pragmatis.

Aku, lulus SMP. Saat aku mencari-cari SMA yang tepat untukku meneruskan pendidikan, aku malah lebih mementingkan mencari SMA yang di dalamnya ada ekstrakulikuler bernama ROHIS. Ah memang anak yang aneh.

Aku pun resmi menjadi siswa SMA dan juga anggota Rohani Islam (Rohis). Senangnya, sebuah kehidupan yang aku idam-idamkan selama ini. Aku senang bergabung dalam komunitas yang di dalamnya selalu menyerukan kebaikan dan kebenaran. Aku pun dikenalkan lebih jauh tentang dunia dakwah itu. Terkadang aku bingung dengan kehidupanku sendiri, aku selalu melewati fase-fase perkembangan psikologisku sendiri, tanpa ada yang membimbing bahkan orang tuaku sekalipun, aku selalu meraba-rabanya. Namun, ada sebuah kondisi yang amat aku syukuri, kakakku mengenalkan Islam lebih dulu, hingga aku tumbuh menjadi seseorang yang memiliki prinsip. Tak kan tergoyahkan oleh kejamnya dunia remaja yang sedang mencari jati diri.

Namun, sebenarnya bukan proses hijrahku yang ingin aku ceritakan disini. Aku ingin menceritakan tentang kakakku. Aku baru menyadarinya, setelah ia lulus, ia tidak hanya meninggalkan dunia kampus dan dunia dakwah kampusnya. Tapi ia meninggalkan juga dunia dakwahnya secara total. Mengapa harus ada yang berguguran di jalan dakwah. Dan mengapa harus kakakku salah satu di dalamnya. Mengapa idealismenya kini mulai tumpul tertelan realita kehidupan yang begitu kejam. Ya ia benar-benar meninggalkan dunia dakwah. Ia sudah meninggalkan halaqahnya. Mushaf yang selalu ia bawa, kini hanya tersimpan di lemarinya, dan terkadang saja ia buka kembali. Buku-buku karangan Sayyid Quthb, Yusuf Qardhawi, dan lain-lainnya ia biarkan berdebu di lemari rumahku. Dan aku pun serta merta memungutnya kembali. Alunan lagu dari Izzatul Islam, Al-Quds dan Shoutul Haraqah tak lagi terdengar di kamarnya. Dan murottal pun aku tak pernah lagi mendengarnya. Al-Ma’suratnya ia endapkan begitu saja di tumpukan-tumpukan bukunya, dan lagi-lagi aku memungutnya. Terkadang aku menitikkan air mata saat kardus-kardus yang berisi kertas-kertas peninggalan kuliahnya itu aku buka. Seringkali kulihat ada kertas-kertas catatan rapatnya, rapat untuk merapatkan barisan dakwahnya. Aku melihat foto-fotonya semasa ia menjadi seorang aktivis dakwah beserta teman-teman ikhwannya tertawa sambil mengepalkan tangannya, dan ku yakin di hati mereka, mereka meneriakkan Allahu Akbar, kemudian mereka berazzam, ini-lah satu-satunya jalan yang bisa membawaku menemui kekasihku, Allah di jannahNya.

Kini, saat aku menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri. Aku melanjutkan cita-cita dan perjuangannya. Aku menobatkan diri menjadi seorang Aktivis Dakwah Kampus. Aku bersyukur, aku senang namun aku menangis. Menangis, mengapa kakakku meninggalkan jalan ini. Saat aku kebingungan memikul beban amanah yang begitu berat, mimpiku adalah aku bisa bercerita dan bertukar pengalaman dengannya dan bisa saling menguatkan. Namun, aku hanya memendamnya sendirian. Sebenarnya aku berharap kakakku berkata ”Dik, tahukah mengapa para pejuang itu jumlahnya sedikit?, karena memang hanya sedikit orang yang memilih untuk menjadi pejuang. Bukankah kau sudah merasakan berjuang di jalan dakwah ini, jalan yang sungguh berat untuk dilalui bukan?. Bukan pujian yang akan kau dapatkan, cacian dan fitnahan justru akan sering kau dapatkan. Tapi, bukankah kau menikmatinya?. Maka istiqomahlah, lihatlah Syurga Allah menanti di ujungnya. Dan, saat kau merasa teramat berat menjalaninya, bangunlah pada sepertiga malam terakhir, menangislah dalam sujud-sujud rendahmu kepada Allah, aku jamin kau akan berenergi kembali esok harinya. Dan jika kau lelah, istirahatlah karena para sahabat Rasul pun saat lelah mereka beristirahat, namun dalam shalatnya. Satu lagi, jika kau benar-benar lelah memikul amanah langit ini, maka berdoalah pada Allah, bukan untuk diringankan bebannya, tapi berdoalah agar Allah menguatkan punggungmu untuk memikul beban dakwah ini. satu lagi adikku, hentikanlah langkah perjuanganmu bila kau benar-benar menginjakkan kaki di Syurga”, namun itu hanya mimpiku saja, karena kata-kata itu tidak pernah keluar dari mulut kakakku yang dulu aku bangga-banggakan sebagai seorang aktivis dakwah. Aku miris, saat berkata kepada teman-teman seperjuanganku. Kakakku dulu juga seorang aktivis dakwah. Mengapa harus ada kata dahulu.

Kak, sungguh aku rindu saat kau bercerita dengan semangatnya tentang kegiatan-kegiatan dakwahmu dikampus. Tentang syuro-syuro malammu untuk menyusun strategi dakwah bersama teman-teman ikhwanmu. Sungguh aku rindu saat kau meneleponku dan berkata ”Dik, bagaimana tilawahnya?sudah 1 juz?, bagaimana dengan hapalannya? Ayo kita murojaah bersama”.

Mungkin orang lain akan menganggapku berlebihan saat aku katakan kehidupan kakakku itu membuatku trauma. Trauma, menghadapi dunia yang sebenarnya selepas aku lulus dari kampus ini. Bahkan aku berpikir, untuk tidak cepat-cepat lulus. Aku takut, idealisme ku akan terpasung habis tergilas kejamnya dunia. Ya, aku takut. Aku tidak ingin, nasibku sama seperti kakakku kelak. Menjadi orang yang berguguran itu. Dan aku masih berharap pada Allah, agar aku tetap dalam komunitas kebaikan ini. Istiqomahkan aku ya Rabb.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati