Setelah menjalani proses belajar, membaca, merenung, berguru dan lain sebagainya, saya telah sampai pada kesimpulan yang meyakinkan, bahwasanya :
Kesimpulan :
"Setiap orang bertanggungjawab atas urusannya sendiri-sendiri, baik itu berupa kebaikan maupuan keburukannya. Orang lain tidak dapat merugikannya, ataupun menguntungkannya, sama sekali."
Pada artikel ini, saya akan menjelaskan sampainya saya pada kesimpulan tersebut. Namun sebelumnya saya memohon maaf sebesar-besarnya jika bahasa penyampaiannya kurang nyaman untuk dibaca. Saya sudah lama tidak menulis, dan memang tidak berlatih menulis lagi sejak lama. Mohon dimaklumi.
Mari kita mulai.
Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah mengetahui mengenai definisi BAIK / BURUK itu.
Definisi 1
"BAIK atau BURUK itu menurut timbangan Allah. Manusia dapat mengetahui sebagiannya melalui petunjuk yang Allah berikan melalui rasulNya atau kitabNya, yang terangkum dalam agamaNya yang sempurna : Islam."
Pendefinisian ini penting, karena kita harus menghindari sifat subjektifitas mengenai BAIK dan BURUK ini. Contohnya misalnya mengenai perintah ber"jihad" (berperang di jalan Allah), manusia menganggap berperang itu buruk, sehingga membencinya, namun tidak dalam pandangan Allah, sebagaimana firman Allah :
2:216. diwajibkan atas kamu berperang, Padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci
sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.
Alasan lain adalah karena Allah mengetahui, sedang kita tidak mengetahui.
Langkah selanjutnya akan diajukan proposisi:
Proposisi
"Ada dua jenis kejadian yang menimpa manusia. Yang pertama berjenis nikmat/kesenangan (kelapangan rizki, kesehatan, dan sejenisnya), yang kedua berjenis musibah (kesempitan rizki, kesehatan dan sejenisnya). Dan keduanya bisa bernilai BAIK/BURUK, hanya bergantung pada sikap orang yang mengalaminya."
Proposisi ini di dasarkan pada hadist Rasulullaah Shollallaahu 'alayhi wassallam :
Dari
Syu'aib,Rasulullah bersabda :"Sungguh perkara seorang mukmin itu
menakjubkan. Semua perkaranya merupakan kebaikan dan hal itu tidak
didapati kecuali pada diri orang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan
lalu kemudian bersyukur, maka itu baik baginya. Bila terkena
kesempitan/musibah lalu bersabar, maka itu kebaikan pula baginya." HR
Muslim.
Langkah selanjutnya kita akan menuju kesimpulan, sebagaimana yang tertulis di awal pembukaan artikel ini.
Setiap orang bertanggung jawab atas urusannya sendiri. Orang lain tidak dapat memberikan keburukan kepadanya, ataupun memberikan kebaikan kepadanya. Hal ini sesuai dengan proposisi diatas yang didasari oleh hadist sebelumnya.
Mari kita membuat permisalan.
Seorang ahli maksiat melakukan perampokan terhadap seorang mukmin, dan ia berhasil. Jika kita sekilas melihat hal ini, terbayang di benak kita bahwa yang dirugikan adalah si mukmin tersebut. Namun tidak demikian hakikatnya. Hakikatnya yang sedang merugikan dirinya sendiri adalah si ahli maksiat. Ia sedang menambah catatan keburukannya dihadapan Allah. Sedangkan bagi seorang mukmin, jika ia telah berikhtiar dan kemudian bersabar dan ikhlash, maka baginya kebaikan di sisi Allah. Meskipun ia kehilangan harta yang telah dirampok, atau ia mengalami luka-luka akibat penganiayaan si perampok. Namun sekali lagi si mukmin bisa tetap mendapatkan kebaikan.
Hal ini dikuatkan oleh :
“Barangsiapa melakukan amal salih maka demi kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang melakukan keburukan maka hal itu akan merugikan dirinya sendiri. Dan tidaklah Rabbmu berbuat zalim kepada hamba.” (QS. Fushshilat: 46)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya; barangsiapa yang melakukan suatu amal salih maka sesungguhnya kemanfaatan amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Karena sesungguhnya Allah maha kaya sehingga tidak membutuhkan perbuatan hamba. Meskipun mereka semuanya berada dalam keadaan sebagaimana orang yang hatinya paling bertakwa, maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa terhadap keagungan kerajaan-Nya barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah)
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka hanya saja [manfaat] hal itu [juga] demi kepentingan dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya sehingga tidak membutuhkan alam semesta.” (QS. al-’Ankabut: 6)
Sehingga, sampailah kita pada kesimpulan diatas.
Maka, benar kata seorang ulama bijak :
Mari kita membuat permisalan.
Seorang ahli maksiat melakukan perampokan terhadap seorang mukmin, dan ia berhasil. Jika kita sekilas melihat hal ini, terbayang di benak kita bahwa yang dirugikan adalah si mukmin tersebut. Namun tidak demikian hakikatnya. Hakikatnya yang sedang merugikan dirinya sendiri adalah si ahli maksiat. Ia sedang menambah catatan keburukannya dihadapan Allah. Sedangkan bagi seorang mukmin, jika ia telah berikhtiar dan kemudian bersabar dan ikhlash, maka baginya kebaikan di sisi Allah. Meskipun ia kehilangan harta yang telah dirampok, atau ia mengalami luka-luka akibat penganiayaan si perampok. Namun sekali lagi si mukmin bisa tetap mendapatkan kebaikan.
Hal ini dikuatkan oleh :
“Barangsiapa melakukan amal salih maka demi kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang melakukan keburukan maka hal itu akan merugikan dirinya sendiri. Dan tidaklah Rabbmu berbuat zalim kepada hamba.” (QS. Fushshilat: 46)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya; barangsiapa yang melakukan suatu amal salih maka sesungguhnya kemanfaatan amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Karena sesungguhnya Allah maha kaya sehingga tidak membutuhkan perbuatan hamba. Meskipun mereka semuanya berada dalam keadaan sebagaimana orang yang hatinya paling bertakwa, maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa terhadap keagungan kerajaan-Nya barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/264] cet. Dar Thaibah)
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka hanya saja [manfaat] hal itu [juga] demi kepentingan dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya sehingga tidak membutuhkan alam semesta.” (QS. al-’Ankabut: 6)
Sehingga, sampailah kita pada kesimpulan diatas.
Maka, benar kata seorang ulama bijak :
Aku tahu rezekiku tidak akan bisa diambil orang lain.
Karena itu,
hatikupun jadi tenteram.
Aku tahu amalku tidak akan bisa dilakukan
oleh selainku.
Karena itu, aku pun sibuk beramal.
Aku tahu Allah selalu
mengawasiku.
Karena itu, aku malu jika Dia melihatku di atas
kemaksiatan.
Aku pun tahu kematian menungguku.
Karena itu, aku
mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya.
(Hasan Al-Bashri)