Sumber https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQtPXmrYPygcD_AByPuCwIHx1Lo5RHa6_Lx2UjFKBjn5-jkKqlTT4FbuFrfhpyS0dLY1YmfBgRhWCr4Fp2GlUP4Lln-MorIYUBhTUoAqnrdfDBqpAAtv0yAROP1wZydLP71VNn_8O3qg/s1600/pernikahan.jpg
Ceritanya begini . . .
afwan, ini postingan tentang deg-degannya menuju pernikahan, yang tidak tertarik karena belum akan segera ingin menikah, ataupun karena sudah terlanjur menikah
Beberapa orang berharap, berkhayal, berimajinasi bahwa dengan menikah, bersama pasangannya ia akan lebih mudah beribadah. Hmm, bayangan indahnya sholat malam bersama pasangan, lalu dilanjutkan sahur bersama, dan siangnya merasakan puasa bersamanya, lalu berbuka dengan masakannya..., nikmatnya bertadarus bersama dia, pergi kajian berdua dengan motornya, atau andaikan bisa setoran hafalan dengan dia setiap harinya. Indah sekali bukan?
Saya pun membayangkan seperti itu.
Tapi, ada yang perlu dibenahi dari harapan seperti itu. Harapan itu memang bagus, bagus sekali bahkan. Hanya saja, tidak tepat bila kita terlalu berharap dari (calon) pasangan kita. Berharap dengan kehadirannya, rutinitas ibadah jadi lebih semangat. Ini baik memang.
Tapi ada yang lebih baik.
Harapan yang berlebihan bisa menipu. Tentang ibadah, tentunya kita meniatkannya untuk Allah, dan semakin bagus niat itu bisa dilihat dari independensi ibadah kita dari orang lain. Maksud saya begini, masih melajang, ataupun ketika menikah, kita harus tetap rajin beribadah. Dilihat orang atau tidak, tetap saja tadarus satu juzz sehari terus dilaksanakan, puasa senin kamis, shalat malam, menghafal, berdakwah, dan lain-lainnya. Ideal sekali jika semua rutinitas ini, bisa terus kita jalankan, dengan adanya orang atau tidak. Tentu sah-sah saja kita menjadikan orang lain sebagai pemicu semangat. Namun, karena ia hanya sekedar pemicu, semangat kita tidak akan bertahan lama, jika hanya mengandalkan pemicunya.
Bisa jadi, diawal-awal pasangan muda itu menikah, semangat ibadahnya akan meningkat pesat. Bangun malam jadi lebih ringan, karena si dia rajin sekali bangun, dan membangunkan kita. Tentu tidak mau kalah darinya bukan? Di lain kesempatan, kita yang bangun terlebih dahulu. Lalu balas membangunkan dia.
Bertadarus jadi lebih bersemangat, karena ada dia yang juga bertadarus. Setiap kali melihatnya menyentuh mushaf, kita pun ikut bersemangat, dan kemudian bertadarus dengannya, bersama. Saling menyetorkan hafalan. Begitu pula dengan ibadah lainnya, berangkat kajian jadi lebih ringan, karena bersamanya. Puasa jadi lebih nikmat, karena ingat, nanti sore akan berbuka dengan masakannya. dan lain-lain... sepertinya untuk urusan imajinasi semacam ini saudara-saudaraku yang ikhwan lebih lihai :)
Semangat terpicu bukan? namun perlu diwaspadai. Jaga terus niat kita. karena ia hanya sekedar pemicu. Akan ada masa bosannya. Akan tiba masanya nanti, shalat malam bersamanya sudah tidak istimewa, bertadarus mendengar suaranya mengaji menjadi hal biasa. Dan segala sesuati menjadi biasa...
Jika hal ini membuat semangat ibadah menurun, maka itu berarti niat kita kurang lurus. Kurang ikhlash. Ini bahaya yang harus diwaspadai.
(Calon) pendamping kita nantinya, bisa jadi tidak sesempurna bayangan anda. Bisa jadi. Nah, tugas andalah sang pemimpin rumah tangga, untuk mendidiknya, mengajarinya, dan menggandeng tangannya bersama menaati Allah subhanahuwata'ala.
Jika ia ternyata jauh lebih baik dari harapan anda, maka pastikan, jaga terus keikhlasan dan ketulusan niat kita kepada Allah. Bersyukurlah kepada Allah, karena telah mengaruniakan pasangan yang mampu mendekatkan diri anda kepada Allah, terus membantu anda mengingatNya.
wahai belahan jiwaku
harapanku
engkau menjadi bidadari surgaku
sajikan pemandangan surga
terlihat jelas didepat mata
sehingga membuatku bersemangat untuk mengejarnya
dendangkanlah senandung ilahiah
agar kita berdzikir bersama
bangunkanlah tidurku
agar kita mengisi malam kita
dikehangatan sujud
tentu saja
engkau tidak harus begitu
karena kewajibanku lah, untuk membimbingmu
tapi engkau harus selalu menaatiNya
dan terus menuju keridhoanNya
jika aku membimbingmu, taatilah
jika aku melalaikannya, tuntutlah
agar aku selalu ingat kewajibanku
"Wahai orang-orang yang beriman!
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta ampuni meraka, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang"
(At-Taghoobun : 14)