Pagi ini aku bertemu dengan kata apatis ini. Kebetulan kali ini objek atau sasaran kata sifat atau label ini dilekatkan padaku. Apatis, atau apatisme, atau yang mirip2 dengan itu...
Bukan kali pertama aku mendengar kata-kata ini, bahkan sesekali mungkin aku sendri yang mengucapkannya. Namun, ketika itu objek pembicaraannya adalah orang lain, bukan orang secara spesifik, tapi orang secara jamak. Atau sebut saja "segolongan orang" yang memiliki persamaan tertentu. Bisa jadi orang-orang yang sama-sama cuek dengan pekerjaanku dan rekan-rekan ku ketika masih berada di Lembaga Dakwah, atau orang-orang yang menentang pekerjaan kami selaku dai. Kami sebut mereka sebagai bagian dari golongan orang-orang "apatis".
Dari : http://www.artikata.com/arti-319380-apatis.php : Mengatakan arti apatis berarti kata sifat :
1. acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh: kita tidak boleh bersikap -- thd usaha pembangunan Pemerintah
dan kali ini....
Kali ini, label itu terucapkan padaku...
Sebabnya adalah, karena keputusanku untuk "memilih" abstain pada pesta demokrasi di Kampusku. Kampus Biru-ku, saat ini sedang menduplikat habis-habisan sistem pemerintahan Indonesia. Segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan di kampus, merasa "harus" diwajibkan untuk sesuai dengan sistem pemerintahan Negara. Kau tahu?? Demokrasi.
Kalau bangsa indonesia punya istilah PEMILU, kampusku memakai nama PEMIRA (pemilihan Raya), bahkan kami juga punya presiden lengkap dengan kabinet-kabinetnya. Untuk maju menjadi calon pemimpin organisasi pun, kami sudah lihai untuk meniru para pemimpin negara kita untuk berkampanye. Bahkan lebih keren lagi, maklumlah . . . anak-anak muda jaman sekarang lebih kreatif. Tidak hanya sekedar memasang foto raksasa berukuran baliho dan berpose ala "manten" (pake jas, pake kopiah, dasi dan ditambah sedikit mesem). Baliho para calon pemimpin kami lebih keren!! ada yang mirip poster pemilihan model, mirip iklan film, mirip poster jualan di internet, ada yang bikin buletin, yang isinya pujian-pujian untuk calon yang dijunjung. de el el lah...
yang jelas, kalo dalam hal seperti ini, kami para mahasiswa sudah jauh lebih ahli daripada calon-calon pemimpin negara sewaktu berkampanye. Kalo masalah kepemimpinan... hmmm... siapa yang tahu?
Dan diantara sekian banyak pilihan calon aku memilih : ABSTAIN.
Orang menganggap tidak memilih itu berarti tidak punya pilihan, tidak peduli, cuek, masa bodoh dengan persoalan lingkungannya. atau Apatis itu...
Tapi, siapa bilang abstain bukan pilihan?
Mungkin suaraku untuk abstain larut bersama suara-suara orang abstain yang benar-benar apatis, atau memang tidak tahu ada yang namanya pemira, atau ikut melebur dengan mbah-mbah mahasiswa yang sibuk dengan Tugas Akhirnya, sampai-sampai jarang melihat kanan-dan-kiri. Padahal bilik-bilik suara segede penjual angkringan sudah berjajar dengan pedenya di spot-spot strategis kampus.
Tapi biarlah, ini suaraku.
Tadinya sempat terpikir untuk jail. bikin kontroversi sekali-sekali. Biar suara abstain ini terdengar lantang.
Aku pernah berpikir untuk tetap mempergunakan surat suaraku (gak tahu berapa harga satu set surat suara itu, bikin boros aja).
Dan akan kutulis besar-besar di kertas itu :
AKU ABSTAIN. KARENA AKU BENCI DEMOKRASI, KARENA ALLAH SUBHANAHUWATA'ALA.
Aku ingin mengikuti jejak utusanNya, yang tidak pernah berdamai sedikitpun dengan pemerintahan kufur dan sistem-sistemnya.
Terserah orang mau bilang apa...
apatis? siapa takut!!!