Allaah Maha Besar rahmatMu, ampun atas kelalaianku yang sering.
Aku merasa tidak percaya diri, ketika berjalan di kampus, ataupun di tempat-tempat yang mungkin aku bertemu dengan kenalan. Bisa jadi bertemu teman sekampus, teman satu mata kuliah, teman yang mau bayar hutang pulsa, atau pun terhadap teman jenis lain. Alasan ketidak-pede-an itu karena, aku khawatir mereka menganggap aku orang yang cuek. Pura-pura tidak kenal. Padahal tidak ada maksud demikian
Sebagaimana sehari lalu, hari selasa. Hari istimewa dalam sepekan, waktunya untuk kuliah yang tinggal satu mata kuliah dan waktunya untuk jadwal "bimbingan" tugas akhir.
Aku datang ke kampus, mengendarai si merah, kemudian memarkirnya, dan tak bicara kepada seorang pun kecuali melempar senyum kepada beberapa orang yang ku kenal. Bersamaku ada seorang mahasiswi yang nampak familiar sejak berjalan berdekatan dari tempat parkiran, dan ternyata benar, ia teman satu mata kuliah, satu bimbingan dengan dosen yang sama. Aku agak menyesal karena tidak menyapa sama sekali, namun untunglah, beliau ternyata memiliki masalah yang sama denganku.
Setelah kuliah selesai, saatnya bersegera mengejar ketinggalan sholat dhuhur, aku berjalan melintasi pelataran parkir. Dari gedung perkuliahan menuju mushola. Di tengan perjalanan seorang menyapa. Tepatnya seorang yang menyapa dan ia bersama dua orang teman lain. Aku hanya menyipitkan mata ke arahnya, mencoba mengenali, sambil tersenyum sedikit dan terus berjalan. Bimbang. Apakah aku kenal? lebih penting lagi, apakah itu teman dekat?
Sampai keraguan itu segera hilang, berubah menjadi sesal, ketika sang penyapa mengatakan, "Wah, kayaknya lupa dia (dengan kita)..." Segera saja aku berhenti, menyipitkan mata lagi dan mengenalinya. dan berbalik mendekat. Ternyata benar. 2 orang teman satu kelas, satu angkatan sejak tahun 2007, dan seorang adik angkatan. Keduanya termasuk teman dekat, sedangkan adik angkatan, aku lupa namanya... sorry...
Berbincang sebentar, mencairkan suasana, sekaligus menebus penyesalan karena "mencueki" mereka tadi. Rupanya seorang teman angkatan yang lain sedang wisuda. Hmm, ini momen istimewa, karena ia termasuk wisudawan terakhir dalam angkatan kami. Lulus menjelang tenggat waktu yang diberikan kampus. Momen ini jauh lebih istimewa ketimbang kelulusanku 2 tahun lalu. Sekali lagi, aku merasa kurang enak atas kejadian awal tadi. Maaf kawan.
Sebagaimana sehari lalu, hari selasa. Hari istimewa dalam sepekan, waktunya untuk kuliah yang tinggal satu mata kuliah dan waktunya untuk jadwal "bimbingan" tugas akhir.
Aku datang ke kampus, mengendarai si merah, kemudian memarkirnya, dan tak bicara kepada seorang pun kecuali melempar senyum kepada beberapa orang yang ku kenal. Bersamaku ada seorang mahasiswi yang nampak familiar sejak berjalan berdekatan dari tempat parkiran, dan ternyata benar, ia teman satu mata kuliah, satu bimbingan dengan dosen yang sama. Aku agak menyesal karena tidak menyapa sama sekali, namun untunglah, beliau ternyata memiliki masalah yang sama denganku.
Setelah kuliah selesai, saatnya bersegera mengejar ketinggalan sholat dhuhur, aku berjalan melintasi pelataran parkir. Dari gedung perkuliahan menuju mushola. Di tengan perjalanan seorang menyapa. Tepatnya seorang yang menyapa dan ia bersama dua orang teman lain. Aku hanya menyipitkan mata ke arahnya, mencoba mengenali, sambil tersenyum sedikit dan terus berjalan. Bimbang. Apakah aku kenal? lebih penting lagi, apakah itu teman dekat?
Sampai keraguan itu segera hilang, berubah menjadi sesal, ketika sang penyapa mengatakan, "Wah, kayaknya lupa dia (dengan kita)..." Segera saja aku berhenti, menyipitkan mata lagi dan mengenalinya. dan berbalik mendekat. Ternyata benar. 2 orang teman satu kelas, satu angkatan sejak tahun 2007, dan seorang adik angkatan. Keduanya termasuk teman dekat, sedangkan adik angkatan, aku lupa namanya... sorry...
Berbincang sebentar, mencairkan suasana, sekaligus menebus penyesalan karena "mencueki" mereka tadi. Rupanya seorang teman angkatan yang lain sedang wisuda. Hmm, ini momen istimewa, karena ia termasuk wisudawan terakhir dalam angkatan kami. Lulus menjelang tenggat waktu yang diberikan kampus. Momen ini jauh lebih istimewa ketimbang kelulusanku 2 tahun lalu. Sekali lagi, aku merasa kurang enak atas kejadian awal tadi. Maaf kawan.
Kejadian tersebut bukan satu atau dua kali, sudah beberapa kali terjadi. Bahkan aku pernah terus terang mengatakan kepada teman aku bahwa aku mengalami masalah semacam ini. Dan aku berharap permakluman darinya.
Dunia yang nampak secara fokus sempurna dalam pandanganku hanya dalam radius 60 cm saja. Hanya radius itu. Beberapa objek yang jauh dan besar, masih dapat dikenali dalam jarak yang jauh, 10-20 m. Seperti misalnya, teman yang memiliki "bentuk" yang khas. Bisa jadi pakaiannya yang khas, yang tidak mungkin dipakai orang lain. Bisa jadi motornya, bisa juga bentuk model rambutnya. Atau bentuk jilbabnya yang aneh. dan semacamnya. Teman-teman yang mudah dikenali perbedaanya, bisa dengan mudah diidentifikasi. Untungnya aku mudah mengingat yang semacam ini, termasuk motor dengan tempelan stikernya.
Masalah pada pandangan mataku disebut miopi, atau rabun jauh, atau bahasa populernya adalah mata minus. Idealnya mata mampu melihat dengan fokus sempurna untuk semua benda dengan jarak berapapun, termasuk bintang yang jauh sekalipun. Bagi seorang yang minus, penglihatannya terbatas pada benda yang dekat saja, dengan batas jarak tertentu yang disebut titik dekat. Benda yang jauh, melebihi titik dekat, tidak dapat dilihat secara sempurna. Benda-benda terlihat tidak fokus. Tulisan terlihat buram, seperti memandang melalui kaca yang terkena uap air. Ketika memandang rumah-rumah yang jauh tidak terlihat bentuk genting-nya kecuali hanya warna atapnya. Pada jarak 10-20 cm dibelakang titik dekat, ketombe di bajumu pun tidak terlihat oleh mataku. Begitu pula jerawat di wajahmu. Bagiku hanya terlihat wajah yang mulus tanpa bintik apapun. Tulisan yang aku ketik ini pun langsung memburam ketika aku memundurkan kepala 10cm ke belakang.
Benda-benda yang gelap sulit untuk diidentifikasi. Khususnya perjalanan malam hari. Motor yang tidak menyalakan lampunya seringkali mangagetkan aku, karena khawatir kutubruk. Begitupula dengan sepeda. Sementara itu benda yang terang lebih mudah diidentifikasi, karena banyaknya cahaya yang masuk ke mata. Maka siang hari jauh lebih memudahkan bagi aku dan orang-orang minus seperti aku. Seorang teman yang minus, sangat menyukai kamarnya terang benderang sampai-sampai ia membeli lampu dengan daya yang lebih besar daripada seharusnya.
Jadi, dunia yang jelas kulihat, hanya sejauh 60 cm. Apakah aku tidak punya kacamata? aku punya dua. Yang pertama memiliki daya lensa 2 dioptri yang artinya dapat membantu mata yang hanya mampu melihat sejelas 0,5 m. Kacamata kedua berdaya 1,75 dioptri, yang artinya dapat membantu mata yang memiliki titik dekat 0,57 m. aku memakai kacamata yang kedua, yang lebih mendekati titik dekat aku yang alhamdulillah masih 60 cm.
Si Kacamata
Marilah sejenak kita mengenali kacamata aku ini. Semoga tidak menjadi pelajaran fisika yang membosankan. Blog ini tidak dirancang untuk tulisan-tulisan fisika semata. Tenang saja :)
Mata kita, bola matanya memiliki lensa yang bening, juga lentur, sehingga mampu berubah bentuk. bentuk lensanya sama seperti ukuran lensa kontak di toko-toko optik, hanya saja jauh lebih canggih dari itu, dan jauh lebih tebal. kamu dapat "merasakan" bentuknya. Cobalah tutup matamu kemudian tempelkan jarimu ke kelopak mata (ingat, dalam keadaan tertutup). Lalu gerakan mata kamu ke kiri dan ke kanan. Jarimu akan merasakan bentuk cembung dari lensa ini. Semoga gambar ini membantu.
Masalah pada pandangan mataku disebut miopi, atau rabun jauh, atau bahasa populernya adalah mata minus. Idealnya mata mampu melihat dengan fokus sempurna untuk semua benda dengan jarak berapapun, termasuk bintang yang jauh sekalipun. Bagi seorang yang minus, penglihatannya terbatas pada benda yang dekat saja, dengan batas jarak tertentu yang disebut titik dekat. Benda yang jauh, melebihi titik dekat, tidak dapat dilihat secara sempurna. Benda-benda terlihat tidak fokus. Tulisan terlihat buram, seperti memandang melalui kaca yang terkena uap air. Ketika memandang rumah-rumah yang jauh tidak terlihat bentuk genting-nya kecuali hanya warna atapnya. Pada jarak 10-20 cm dibelakang titik dekat, ketombe di bajumu pun tidak terlihat oleh mataku. Begitu pula jerawat di wajahmu. Bagiku hanya terlihat wajah yang mulus tanpa bintik apapun. Tulisan yang aku ketik ini pun langsung memburam ketika aku memundurkan kepala 10cm ke belakang.
Benda-benda yang gelap sulit untuk diidentifikasi. Khususnya perjalanan malam hari. Motor yang tidak menyalakan lampunya seringkali mangagetkan aku, karena khawatir kutubruk. Begitupula dengan sepeda. Sementara itu benda yang terang lebih mudah diidentifikasi, karena banyaknya cahaya yang masuk ke mata. Maka siang hari jauh lebih memudahkan bagi aku dan orang-orang minus seperti aku. Seorang teman yang minus, sangat menyukai kamarnya terang benderang sampai-sampai ia membeli lampu dengan daya yang lebih besar daripada seharusnya.
Jadi, dunia yang jelas kulihat, hanya sejauh 60 cm. Apakah aku tidak punya kacamata? aku punya dua. Yang pertama memiliki daya lensa 2 dioptri yang artinya dapat membantu mata yang hanya mampu melihat sejelas 0,5 m. Kacamata kedua berdaya 1,75 dioptri, yang artinya dapat membantu mata yang memiliki titik dekat 0,57 m. aku memakai kacamata yang kedua, yang lebih mendekati titik dekat aku yang alhamdulillah masih 60 cm.
Si Kacamata
Marilah sejenak kita mengenali kacamata aku ini. Semoga tidak menjadi pelajaran fisika yang membosankan. Blog ini tidak dirancang untuk tulisan-tulisan fisika semata. Tenang saja :)
Mata kita, bola matanya memiliki lensa yang bening, juga lentur, sehingga mampu berubah bentuk. bentuk lensanya sama seperti ukuran lensa kontak di toko-toko optik, hanya saja jauh lebih canggih dari itu, dan jauh lebih tebal. kamu dapat "merasakan" bentuknya. Cobalah tutup matamu kemudian tempelkan jarimu ke kelopak mata (ingat, dalam keadaan tertutup). Lalu gerakan mata kamu ke kiri dan ke kanan. Jarimu akan merasakan bentuk cembung dari lensa ini. Semoga gambar ini membantu.
Idealnya lensa ini akan mencembung jika mata ingin berfokus pada benda yang dekat. Ia berakomodasi, dengan bantuan otot yang mengaturnya, dan lensa mata pun menjadi lebih cembung. Jika mata ingin berfokus pada benda yang jauh, otot ini meregang, berelaksasi dan lensa mata kembali memipih. Kedua proses ini bertujuan agar bayangan jatuh tepat pada retina, sensor mata kita. Jika proses ini terjadi dengan baik maka sempurnalah penglihatan kita. Ingat kamera digital? Nah, kamera meniru proses yang luar biasa ini. Bedanya mata kita jauuuuh lebih canggih dan memiliki jumlah tangkapan pixel yang jauuuh lebih hebat. Allaahu akbar.
Masalah pun datang ketika proses ideal tadi tidak berjalan sempurna. Lensa mataku tidak kembali memipih menjadi ukuran normal. Ia tetap mencembung. Sehingga cahaya dari benda yang kulihat tidak jatuh di retinaku, namun didepannya.
Apa penyebabnya? Kenapa lensa mata tidak kembali memipih sebagaimana seharusnya? Ada yang bilang karena keturunan. Jika ayah-ibumu atau kakek-nenekmu ataupun orangtua kakek-nenekmu ada yang memiliki kelainan semacam ini, maka bisa jadi kamu akan terkena. Faktor lain yang (katanya) lebih besar penyebabnya adalah faktor kebiasaan. Kebiasaan maksudnya adalah kebiasaan buruk dalam menggunakan mata. Seperti misalnya menonton tivi terlalu dekat dalam waktu lama. Membaca terlalu dekat atau dengan sikap yang salah. Ataupun terlalu lama menatap layar komputer. Hal-hal ini menyebabkan ketegangan visual. Lensa mata terlalu sering menggembung, sehingga sulit kembali pipih seperti semula. Nah, maka tidak heran orang-orang di kampung jarang terkena mata minus. Mereka lebih sering main diluar, melihat sawah, menjelajah pegunungan, merambah sungai. Pandangan matanya selalu dimanjakan untuk melihat yang jauh. Tidak terjadi ketegangan visual yang tidak perlu.
Lalu datanglah kacamata, sebagai salah satu solusi. Kacamata membantu meletakkan jatuhnya bayangan tepat diretina (lihat gambar). Bagaimana prosesnya? dan apa arti kekuatan lensa ( minus 2, minus 1)?
Here comes the math... maaf, ini tak terhindarkan. Kita coba menguranginya sebisa mungkin. :)
Sebagaimana sudah dijelaskan, orang minus memiliki titik dekat tertentu. Semua benda yang berada kurang dari titik dekat tersebut masih dapat dilihat dengan fokus sempurna, tidak memerlukan kacamata. Namun benda-benda di luar titik dekat yang bermasalah untuk dilihat. Benda-benda yang jauh (sebutan untuk benda diluar titik dekat) menjadi buram, tidak fokus. Maka kacamata minus bertugas untuk membawa benda-benda yang jauh itu agar terasa berada di dalam titik dekat. Ya, kacamata membuat seolah-olah mata melihat sesuatu yang dekat, meskipun kenyataannya jauh. Kacamata merekayasa penglihatan kita.
Prinsipnya sederhana. Masih ingat rumus lensa?
(f=jarak fokus, s=jarak benda, s'=jarak bayangan)(semua dalam meter)
SEMUA lensa bekerja dengan aturan ini. Termasuk kacamata. Nah, agar kacamata benar-benar membantu kita "melihat" benda-benda jauh, maka benda-benda jauh ini harus nampak dekat, yaitu berada di titik dekat. Dengan kata lain, bayangan yang dihasilkan lensa kaca mata berada di depan lensa. Sehingga s' (jarak bayangan yang terbentuk oleh kacamata) harus paling tidak sama dengan titik dekat mata. Benda yang (menuju) jauh tak hingga sekalipun (s=tak-hingga) bayangannya harus nampak dekat, sedekat titik dekat mata. Maka kita mendapatkan s'=minus titik dekat mata (minusnya karena bayangan terbentuk di depan lensa kacamata) dan s=(hampir)tak-hingga, yang menyebabkan persamaan tadi menjadi
(TD=jarak titik dekat mata)
Nah, 1\f =P (huruf P mungkin dari kata power) inilah yang biasa dikenal sebagai daya lensa kacamata. dengan satuan dioptri. Maka untuk mataku yang titik dekatnya 60 cm, mestinya daya lensa kacamataku adalah -1.67 dioptri. Tapi karena di tempat jualan kacamata pinggir jalan kolombo itu daya terdekat hanya ada yang -1,5 atau -1,75 atau -2,0, maka kubeli yang -1,75 saja.
Aku yang memakai kacamata -1,75 ini hanya memiliki jarak pandang jelas sejauh radius 60 cm. Bagaimana dengan orang yang memakai kacamata minus 5? bisa dengan mudah dihitung TD=1/P, maka TD=1/5 m atau 25cm saja. hmm ... sepertinya parah sekali ya. Untuk bisa membaca tanpa kacamata si minus 5 harus mendekatkan bukunya pada jarak 25 cm. Aku jadi ingat temanku yang minus 8. tak terpisahkan dari kacamata. Subhanallaah...
Kacamata Darurat
Sebagaimana sudah kuceritakan. Aku punya kacamata, namun jarang dipakai. Aku memakainya pada saat-saat darurat saja. Kuliah, dauroh, pelatihan, seminar dan semacamnya. Pada keadaan yang membutuhkan penglihatan yang baik. Selain itu kulepas. Maka terjadilah hal-hal yang telah kuceritakan sebelumnya.
Mengapa? alasan pertama karena aku tidak suka memakai kacamata. Terasa merepotkan. Alasan (pembenaran sih sebenarnya) yaitu karena kacamata hanya alat bantu, buka alat penyembuh. Pemakaian kacamata dalam jangka waktu lama tidak menyembuhkan miopi ini, justru malah memperburuk. Karenanya jarang kupakai..
Apakah aku punya pilihan lain untuk menyembuhkan? Beberapa, seperti operasi, sayangnya mahal, ada juga ramuan-ramuan herbal seperti OTEM, THM, (dua-duanya obat herbal tetes mata) namun tidak rutin memakainya. OTEM malah sangat perih dimata, karena komposisinya dari madu. jadinya pun tidak membantu penyembuhan, karena ketidak rutinannya. Pilihan lainnya : vision therapy / terapi penglihatan, semaca bentuk-bentuk senam mata. Lagi-lagi, tidak rutin menjalankannya. Maka sampai sekarang, mataku tidak kunjung membaik, dan tidak pula memburuk. Stagnan pada minus -1.75.
(Bagi anda yang ingin mengetahui tentang vision therapy yang mujarab, sekaligus mengenai ilmu-ilmu kesehatan alami lain silahkan membaca Jery D. Gray, Rasulullah is my doctor)
Maka jadilah ia, si kacamataku, sebagai kacamata darurat. Untuk membantuku melihat dunia secara jelas, pada keadaan darurat. Pada keadaan tak darurat duniaku .... hanya sejelas 60 cm saja.